Selasa, 20 Juli 2010

CERPEN

Selasa, 20 Juli 2010

Anekayess-online.com - “Rey… gue minta lo jangan deket-deket sama Ami, gue kasihan sama lo, lo bakal abis diperas. Semua orang di perumahan dendam sama orang komplek...”

Rey bangun pagi-pagi sekali, ini hari minggu pertama mereka tinggal di rumah baru sejak Papa memesan rumah ini dua tahun yang lalu dengan cara nyicil, sekarang baru kelar dibangun sama developer-nya. Katanya sih, pembebasan di daerah ini alot, hampir setiap hari ada keributan antara pengembang sama penduduk setempat, bahkan ada yang tewas segala karena perkelahian dengan senjata tajam antara kedua kubu.
“Nin, bangun Nin, bangun!” teriak Rey di depan
kamar adiknya, dia udah siap dengan pakaian
olahraga.
“Nina… ini kan hari minggu, bangunlah Nin!” ujar
Mama pula, yang lagi motong-motong roti.
Tanpa menunggu Nina adiknya bangun, Rey berlari ke garasi, dia mengambil sepeda tandem-nya.
“Nina!” teriak Rey sekali lagi dari luar.
Udara pagi terasa sejuk, Rey meluncur sendirian di bawah pohon-pohon peneduh jalan utama di depan rumahnya yang bersih dan segar, berbeda dengan rumah Rey yang dulu, walau rumah mereka tidak kecil, tapi daerahnya sudah padat banget dengan penghuni, jadi udara nggak segar lagi.Sampai di lapangan komplek perumahan, ternyata banyak bapak-bapak, ibu-ibu, juga pemuda-pemuda sebayanya, lagi siap bermain bola voli. Rey mengayuh sepedanya mengitari lapangan. Baru setengah lapangan dia mengayuh, tiba-tiba seorang cewek menghadang laju sepedanya.
Cewek itu tersenyum, Rey melihat di pinggir jalan di samping warung rokok ada teman-temannya berkelompok. Rey terpaksa menghentikan sepedanya di depan cewek itu.
“Wah, asyik banget naek sepeda sendirian, gue ikut dong,” ujar cewek itu, tampangnya cakep juga, kulitnya hitam manis, model pakaiannya army look, gagah, tapi matanya keliatan ngantuk abis begadang. Rey salah tingkah.
“Kamu anak baru ya disini?” tanya cewek itu, Rey tersenyum.
“Iya, kenalkan, namaku Reynaldi, panggil saja
Rey,” dengan ramah Rey mengulurkan tangannya, cewek itu menyambut sambil tersenyum. Tangan cewek itu terasa hangat di rasakan Rey, dan… melihat senyum cewek itu yang memikat, membuat detak jantung Rey tak beraturan.
“Gue Ami… dan ini temen-temen gue semua. Sandra, Ertin, James, Kemal, Ronron, Ipank….” Sekelompok cowok cewek yang tadi nongkrong di samping warung mendekati Rey, mereka mengulurkan tangan satu persatu.
“Sebagian dari kami anak komplek juga, tapi
kebanyakan dari kampung sebelah yang kegusur
paksa,” cewek yang mengaku bernama Ami itu tertawa lebar, menampakkan gigi-giginya yang putih teratur.
“Gue di Taman Flamboyan 7 No. 14, yang di depannya ada Wartel,” tunjuk Rey ke arah rumahnya.
“O… anak orang kaya dong. Kapan-kapan boleh dong
kita maen-maen,” canda Ami sambil melirik penuh
arti kepada Rey.
“Boleh aja, kebetulan di sini gue belum punya
teman.”
Ami kembali tersenyum, Rey merasakan dadanya
kembali tak karuan melihat senyum Ami.
“Eh, gue boleh pinjem sepeda kamu sebentar nggak?” pinta Ami tiba-tiba.
“Boleh, kenapa nggak,” jawab Rey buru-buru, lalu
turun dari sepedanya.
“Mau ke mana lu An?” tanya cowok yang bernama
Kemal.
“Ke rumah sebentar, cuci muka sama beli body
splash ke minimarket, tampang gue rasanya nggak
enak banget nih.”
“Gue ikut, gue mo tuker kaos, gerah gue!” teriak
Kemal yang sebelah kupingnya pake anting-anting.
“Nggak ah, gue cuma sebentar kok, nggak boleh
orang senang lu!” ketus Ami cuek, lalu dia menaiki sepeda tandem Rey yang dibelakang bisa untuk satu orang lagi, pelan-pelan segera dikayuhnya sepeda itu. “Daaaagg,” katanya genit kepada teman-temannya. Rey pun lalu bergabung sama teman-teman Amy.
Sudah lebih satu jam, tapi cewek manis bernama Ami yang tadi meminjam sepedanya belum juga kembali. Rey mulai nggak enak, apalagi beberapa teman Ami juga udah pada pulang. Cuma satu yang tinggal, Kemal, Kemal terus mengajak Rey ngobrol apa saja, ujung-ujungnya Rey bosan, obrolan Kemal nggak jauh dari urusan anak-anak nongkrong.
“Kok Ami lama benget ya?” akhirnya Rey tak sabar
juga.
“Iya ya, kemana tuh anak,” ketus Kemal juga.
Nggak lama kemudian, Kemal tanpa basa-basi kepada Rey meninggalkan pojokan warung.
Wah, semua udah pada pulang, gimana nih? Ketus Rey dalam hati.
“Mal, Kemal,” panggil Rey.
“Ya, kenapa. Gue pulang dulu ya, sorry nih.”
“Rumahnya Ami di mana?”
“Santai aja dulu disini, sebentar lagi dia juga
datang,” tegas Kemal lalu dia mempercepat
langkahnya. Tinggal Rey sendirian, terus ditunggunya Ami, tapi sudah dua jam berlalu, batang hidung cewek itu nggak nongol-nongol juga. Rey merasa dikerjai, dia ingin marah, akhirnya Rey pulang dengan kecewa.
Tapi sore nanti pulang sekolah, Rey akan balik
lagi menunggu Ami. Sore hari, Rey sudah ada di lapangan, dilihatnya Kemal sudah ada di warung rokok.
“Mal, anterin aku ke rumah Ami ya,” pinta Rey, dia
tak mau menunggu terus-terusan kayak orang bego.
Kemal memandang wajah Rey sebentar. “Yuk deh, gue jadi sebel sama anak itu. Dia memang suka cari
perhatian, banyak tingkah,” sungut Kemal.
Setelah berjalan beberapa ratus meter keluar
komplek, mereka sampai di perumahan kampung.
“Itu rumahnya,” tunjuk Kemal ke salah satu rumah
sederhana. Rey langsung berdebar nggak karuan, belum sampai mereka berdua mengetuk pintu rumah, Ami keluar sambil tersenyum cengengesan tanpa rasa bersalah.
“Kita duduk di luar aja ya, di dalam gerah, rumah
gue nggak ber-AC kayak orang-orang di komplek,”
katanya, ntah apa maksud ucapannya itu.
“Rey nanyain sepedanya yang lu pinjem tadi pagi,
jangan pura-pura lu, Mi,” ketus Kemal.
Ami kembali tersenyum.
“Sorry ya Rey. Tadi gue emang mo balik ke lapangan abis gue selesai rapi-rapi, sepedanya tiba-tiba dibawa adek gue nggak tau kemana. Sampe sekarang dia belum juga pulang-pulang.”
Rey mulanya keki juga, tapi sebaliknya Ami
memberikan senyumnya yang paling indah untuk Rey, Rey jadi terus berdebar dan salah tingkah menatap wajah Ami.
“Sorry ya Rey.” Rey mencoba tersenyum.
“Nggak apa-apa kok Mi, soalnya kamu nggak bilang-bilang dulu sih kalau nggak balik ke lapangan….”
“Sorry deh sekali lagi, maaf ya….”
“Kalau begitu… sepeda itu buat adek kamu aja deh,”
ujar Rey dengan sungguh-sungguh.
“Doo, segitu aja marah….”
“Bukan marah, serius kok.”
Mata Ami membola. “Serius untuk adik gue?”
“Iya, emang kenapa?”
“Nggak percaya gue, masa sih?”
“Eh, mestinya lo berterimakasih, bukannya ‘nggak
percaya gue’, ‘Masa sih, masa sih’ terus,” ketus Kemal. Ami tertawa dan mencubit tangan Kemal.
“Adik gue pasti seneng banget, soalnya mereka
berdua udah lama minta dibeliin sepeda, tapi nggak pernah dibeliian sama Bokap karena nggak ada duit. Sekali-sekali gue juga bisa make tuh sepeda, ‘kan bisa dinaiki dua orang ya kan Rey. Tapi naeknya berdua kamu.”
“Iya, Iya,” jawab Rey kikuk, Kemal tampak mencibir ke arah Ami. Akhirnya Rey duduk ngobrol-ngobrol bertiga bareng Kemal dan Ami.
Sudah dua hari ini, di rumah, di sekolah, wajah
Ami terus terbayang di pelupuk mata Rey, Rey
kangen sama Ami, tapi bagaimana caranya, di rumah Ami kata dia kemaren, kabel telpon yang tersambung ke perumahan kampung sudah diputus sama pengembang komplek perumahan. Para pengembang juga katanya masih memburu beberapa tanah di perkampungan dengan ganti rugi yang tidak memadai. Ami juga nggak punya handphone. Aduh, gimana nih, Rey serba salah. Satu satunya jalan agar bisa komunikasi dengan Ami tentu saja kalau Ami yang telpon.

Tiba tiba telpon berdering. Rey berharap itu dari
Ami. Ya Tuhan… please semoga itu Ami….
“Kak Rey, telpon!”
“Dari siapa?” tanya Rey berteriak.
“Dari cewek!” teriak Nina yang menerima telpon
itu. Rey cepat bergegas ke meja telpon.
“Hallo, siapa nih?”
“Hallo… ini Rey, ya?”
“Iya, kamu Ami ya, bener, ini gue Rey….” Lalu
mereka berdua tertawa di telpon.
“Eh… Ami, kamu di mana?”
“Di Wartel. Rey kamu lagi ngapain, sibuk ya?”
”Nggak juga, cuma ada sedikit tugas,” jawab Rey
berdebar.
“Temuin gue dong Rey, gue pengen banget ketemu
kamu sekarang!”
“Kebetulan belum terlalu malam, oke deh, kamu
sekarang di mana?”
“Di Ceria Mart, nggak jauh kan dari komplek.”
“Oke oke, nggak jauh kok. Tunggu ya, aku pasti ke
sana, tapi aku nggak bisa lama-lama.”
“Ketemu sebentar juga nggak apa apa, Rey. Gue
kangen. Sampai ketemu ya, Rey….”
“Ya sampai ketemu.” Rey lalu meletakkan gagang
telpon itu. “Yesss!” teriaknya senang, sampai Nina
yang melihat terheran-heran.
Begitu melihat kedatangan Rey, Ami segera
menggandeng tangan Rey ke sudut wartel. “Rey, gue seneng banget punya temen kayak kamu, kamu orang yang menepati janji, lagian kamu baik, keren dan… bokap kamu pasti tajir,” ujar Ami sambil
memamerkan senyum indahnya.
“Ah, biasa aja Mi. Orang tuaku nggak kaya kok,”
Rey balas tersenyum, dirasakannya tangan Ami yang lembut meremas-remas jari-jemari tangannya.
“Ikut nongkrong di sini ya Rey,” pinta Ami. “Di
sini banyak kafe yang buka sampe tengah malam.”
“Mm… gue belum bilang sama nyokap, tadi dia lagi
pergi sama bokap, ini kan waktunya belajar, Mi.
Lagian ini kan bukan malam minggu.”
Ami tiba-tiba ketawa lebar.
“Gue juga sekolah Rey, emangnya cuma kamu. Belajar kan bisa kapan aja Rey,” lanjutnya masih terus tertawa.
“Gue mau nongkrong sampe tengah malam sama kamu, Mi. Tapi sekarang kayaknya gue nggak bisa, nyokap-bokap gue galak banget, daripada gue nggak bisa keluar malam Minggu besok, lebih baik gue nurut. Sebentar lagi gue pulang. Kayaknya tadi gue ngeliat Kemal sama Ipank deh.”
“Hh, Mereka sih gak bisa diharapkan Rey.”
“Maksud kamu…?”
“Kalau gitu, gini aja deh Rey… sorry ya, sorry
banget. Gue pake duit kamu dulu deh, berapa aja.”
Rey serba salah.
“Gimana Rey, sorry lho, terus aku pulang aja deh
kayaknya, males nongkrong sama anak-anak, bosen!
Kalau sama kamu sih nggak apa-apa….”
“Nah, bagus itu, lebih baik kamu di rumah aja,
belajar.”
“Tapi Rey, bolehkan, minjem deh, minjem. Terus
antarin aku pulang ya.”
“Oke, tenang aja, gak masalah soal duit.”
Rey segera mengeluarkan dompetnya, diambilnya dua lembar limapuluh ribuan dan mengulurkannya ke tangan Ami. Ami terbelalak tak percaya menerima uang itu.
“Makasih ya Rey, gue jadi nggak enak nih.”
“Nggak apa apa kok, tapi kita pesan minuman di
kafe tenda aja yuk, abis itu baru pulang.”
“Oke Rey, yuk!” balas Ami senang, dan mereka
berdua bergandengan tangan berjalan menuju kafe tenda. Rey kaget, tiba tiba saja dia dihadang oleh Kemal
di pertigaan tak jauh dari rumahnya, beberapa
teman Kemal, salah satunya si gondrong Ipank,
mengawasi dari atas motor.
“Rey… gue minta lo jangan deket-deket sama Ami,
gue kasihan sama lo, lo bakal abis diperas. Semua
orang di perumahan dendam sama orang komplek gara-gara urusan ganti rugi tanah yang belum selesai sampai sekarang, termasuk Ami. Lo jangan kira Ami jatuh cinta sama lo, Ami itu cewek gue.” Kemal menunjuk-nunjuk jidat Rey.
“Apa urusannya sama orang komplek, ganti rugi itu
kan urusannya pengembang,” bantah Rey.
“Karena bos-bos pengembang banyak yang tinggal di komplek. Mereka merampok tanah kami.”
Rey jadi serba salah.
“Lagian kalo lo deket sama Ami, gue semua bakal
ngancurin lo. Ingat itu! Denger! Lo bakal bisa
mampus!” Kemal lalu berbalik dan buru-buru naik ke boncengan motor Ipank. Dengan suara gas yang
sengaja diraung-raungkan mereka tancap gas.
Rey hanya bisa kesal memperhatikan ulah mereka.
“Bohong itu Rey, gue nggak ikut-ikutan dendam,
gue kan cewek, bisanya apa. Waktu gue minta duit,
gue dipaksa Kemal. Sekarang, demi Tuhan gue nggak bakal nongkrong lagi sama anak anak itu, Rey. Gue nggak mau kehilangan kamu, Rey. Lagian Kemal itu bukan cowok gue, dia yang ngaku ke mana-mana kalau dia cowok gue, ngancam siapa aja yang deket sama gue. Emangnya gue anak dia apa?!” Ami terisak.
Rey terkejut dengan keterus-terangan dan perubahan
sikap Ami yang drastis.
“Maafin gue Rey, suwer, setelah kenal elo gue
nggak akan gabung lagi sama anak-anak. Mereka
nggak ada yang beres Rey, selama ini gue terpaksa
gabung sama mereka.”
“Ya udah, jangan nangis dong, ntar ayah-ibu kamu
curiga sama aku.”
“Mudah mudahan Kemal nggak nyamperin ke sini, kamu jangan pulang dulu ya Rey. Dia beraninya kalau ada Ipank, James, kalau sendiri dia pasti nggak berani.”
“Iya, mudah-mudahan dia nggak nyemperin ke sini.”
Menit demi menit mereka diliputi kecemasan, tapi
Rey kemudian mencoba rileks dan bisa ngajak
ngobrol Ami tentang apa saja, hingga tanpa terasa
sudah pukul sepuluh malam. Rey berpamitan dan
menyuruh Ami untuk tenang dan sabar. Tapi alangkah kagetnya Rey ketika dilihatnya Honda Tiger 2000 nya nggak ada di depan rumah Ami. Wajah Rey seketika memucat.
“Ke mana motor gue, Mi?” Rey panik.
Ami juga tampak tak kalah kaget.
“Pasti ada yang mencurinya, Rey. Kamu harus cepat
lapor ke bokap kamu, Rey. Terus ke polisi!” usul
Ami dan mulai menangis.
“Oke deh Mi, aku tinggal dulu ya!”
Rey berlari meninggalkan rumah Ami.
“Hati-hati Rey!” teriak Ami.
Rey tak menjawab dan terus berlari.
Dengan tubuh berkeringat Rey sampai di rumah. Papa yang mendengar kabar motor Rey hilang segera menelepon polisi, setelah polisi datang, papa juga mengajak pak er-te ke rumah Ami.
“Perkampungan di belakang komplek kita ini memang agak rawan pak. Rata-rata orang di situ banyak yang nganggur, pemuda pemudanya tukang mabuk dan begadang. Dulu, tanah mereka luas, tapi dipaksa sama kontraktor perumahan untuk menerima ganti rugi yang tak sesuai. Tentu saja banyak penduduk yang dendam dan iri hati sampai sekarang. Dulu sering ribut sampai ada yang tewas, sekarang pun kedua kubu masih bersiteru.”
Rey yang mendengar pembicaraan itu hanya diam.
Papa memang bisa segera membelikannya motor baru atau bahkan mobil. Kasihan Ami, pikir Rey. Ami sebenarnya cewek baik-baik, dia cuma terpengaruh teman-temannya yang brengsek itu.
Sampai di rumah Ami, kedua orang tuanya tampak
bingung ditanyai polisi, Ami sendiri menangis
sesenggukan, melihat Ami menangis, Rey sungguh
kasihan melihatnya dan yakin itu bukan dibuat-
buat. Setelah polisi selesai menginvestigasi
semuanya termasuk menanyai Ami dan Rey sendiri.
Rey, papanya, polisi, dan pak er-te minta pamit,
tapi polisi berkesimpulan, yang mencuri motor Rey
adalah Kemal dan geng-nya. Dan untuk meringkus
pemuda pemuda sebaya Rey itu bukan masalah bagi
polisi. Sampai di rumah, Rey termenung sendiri, papa dan mamanya mengultimatum agar Rey jangan berhubungan dengan Ami lagi, dan siapa pun di perumahan kampung itu. Rey diam saja, tapi pikirannya terus melayang ke rumah Ami.
“Gue cinta sama kamu Ami, gue yakin kamu cewek baik-baik. Gue kasihan kalau kamu terus tinggal di perumahan itu. Gue sayang sama kamu Ami. Gue jatuh cinta, dan nggak mungkin benci sama kamu. Rey merasa Hatinya sudah melayang, walaupun mungkin masih akan banyak lagi yang hilang.”
Tapi Rey tak mau kehilangan Ami. Itulah yang
pasti.Walau jurang pemisah terlalu dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar